![]() |
Pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (Foto: Ulet Ifansasti/Getty) |
Rencana pembebasan Ustadz Abu
Bakar Ba'asyir menjadi sorotan dalam empat hari terakhir. Wacana pembebasan ini
mencuat setelah Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo
alias Jokowi setuju untuk membebaskan Ba'asyir dengan alasan kemanusian dan
juga alasan kesehatan.
Rencana ini semakin kuat saat
Yusril memapah Ustadz Baasyir dan menjelaskan keinginan Presiden ini. Bertambah
kuat, Presiden Jokowi sendiri menegaskan bahwa alasan kemanusiaan menjadi dasar
ia setuju.
Pembebasan ini tidak mendapat
tempat. Mulai dari kritik soal dasar hukum, ajang perbaikan ‘citra’ politik,
sampai kemarahan Australia bila Ustadz Baasyir bebas.
Tak berselang lama,
pemerintah melalui Menko Polhukam bersikap beda dengan Presiden. Mengaku
mewakili pemerintah, Wiranto, akan mengkaji kembali soal pembebasan dari
berbagai aspek.
Pembebasan ini makin
sengkarut dan terancam batal.
Pertanyaannya adalah,
bagaimana bisa Yusril berada di sana bicara soal pembebasan, sedang hal ini kompetensinya
pada Dirjen Pemasyarakatan (PAS) serta Menteri Hukum dan HAM. Kemana mereka?
Jika ini adalah niat pemerintah, mengapa tidak ada unsur tersebut.
Sehingga sangat wajar, jika
masyarakat menilai ini demi citra politisi yang peduli kepada ulama yang sudah
sepuh. Sedemikian kah memperlakukan nasib seseorang?
Yang kedua pendengar, Yusril
mengatakan Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan presiden untuk
mengkesampingan sarat untuk bebas bersyarat bagi Abu Bakar Baasyir. Dalam
syarat tersebut Baasyir menolak untuk menandatangani ikrar setia kepada NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan Pancasila serta mengakui perbuatan
dengan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Namun, syarat itu kata Yusril
dikesampingkan oleh Presiden Jokowi dengan alasan kemanusian dan kondisi
kesehatan Abu Bakar Baasyir.
Lalu mengapa tiba-tiba
Menkopolhukam mengoreksi sikap presiden dengan mengatakan akan mengkaji lagi? Terkesan keputusan presiden tersebut belum dikaji sebelumnya.
Satu hal yang sangat fatal
dalam tata kelola negara. Apalagi disampaikan Wiranto secara terbuka melalui
konferensi pers, bukan dalam ruang rapat kabinet. Seolah ucapan presiden bisa
batal dan terkoreksi oleh para pembantunya yakni menteri.
Tidak ada komentar: