![]() |
Capres No Urut 02, Prabowo Subianto |
Pidato itu memang disambut
gelak tawa oleh hadirin, tapi ucapan "tampang Boyolali" tersebut jadi
riuh di dunia maya Twitter.
Memanfaatkan alat analisis
Twitter bernama Tweet Binder, #SaveBoyolali cukup memantik keriuhan di Twitter.
Hanya dengan 153 original tweet, hashtag tersebut sukses menggapai lebih dari
1,7 juta follower atau pengguna Twitter yang mengikuti akun-akun yang bercuit
#SaveBoyolali.
Wajar dan sah-sah saja jika
ucapan Prabowo ini menjadi dihebohkan. Sebab ini adalah musim politik sehingga
apapun akan menjadi polemic.
Cukup diakui, tim media lawan
Prabowo sangat efektif dalam menggoreng isu ini.
Pertama-tama dengan cara
mencari noise (kesalahan ucap) dari pihak lawan yang akan dibidik. Setelah
noise diperoleh, “Langsung pakai robot (bot) dalam jam pertama dan kedua supaya
(noise tersebut) jadi trending topic.”
Penggunaan bot untuk
menjadikan suatu noise jadi ramai di Twitter merupakan instruksi yang lantas
ditanggapi oleh key opinion leader atau orang-orang yang punya pengaruh di
media sosial. Key opinion leader ini bisa jadi tokoh, atau orang yang memiliki
pengaruh di sosial media. Saat mereka sudah berbicara, maka akan langsung
diikuti follower-nya.
Ditambah lagi dengan pidato
keras Bupati Boyolali, Seno Samudro yang menyebut Prabowo adalah anjing dalam
bahasa jawa dan menyeru masyarakat Boyolali untuk tidak memilih Prabowo.
Komplit sudah, masyarakat pun terbawa akan riuh ramainya pembicaraan.
Inilah mengapa menjadi ramai.
Meski, tim media Jokowi pasti akan membantah. Meski Bupati Boyolali membantah
bukan kampanye, bukan politik. Namun, demikianlah kenyataan yang terjadi.
Sangat disayangkan ucapan dan
perilaku Bupati Boyolali, bagaimanapun jelas ia tidak akan memilih Prabowo
sebab ia kader PDIP. Namun ucapan kasar dan hasutannya adalah aib bagi
masyarakt Boyolali yang menyaksikannya.
Begitulah gaya Prabowo.
Ucapannya lugas, apa adanya, selalu menarik hadirin dengan sentilan dan
candaan. Memang jika didengar, pidato Prabowo bermaksud baik, tetapi rumus
politik itu lain.
Treatmen media mainstream pun
saat ini lebih doyan untuk membahas hal-hal non substansial, seperti hoax
Ratna, tempe setipis ATM, sampai pidato Prabowo kemarin dibanding dengan
mengkritisi pemerintah yang saat ini tengah menjabat.
Oleh sebab itu, masyarakat
pun harus lebih cerdas. Media sumber utama memang dikenal kredibel. Namun, ditengah
musim politik saat ini, kebaikan bisa disulap menjadi seolah buruk, begitu pula
keburukan bisa terlihat seolah baik. Berkat usapan media.
Tenang, berimbang, jangan
terlalu reaktif.
Tidak ada komentar: