Nama Miftahul
Janah, mendadak menjadi buah bibir. Namanya disebut-sebut karena menolak
melepas hijab dalam pertandingan blind judo di Asian Para Games 2018. Pejudo
wanita pada akhirnya harus rela didiskualifikasi serta dinyatakan kalah tanpa
bertanding.
Banyak masyarakat
yang mengecam insiden ini. Mulai dari tudingan diskriminatif hingga anti Islam
mengarah ke Federasi Judo International.
Menarik
sebenarnya, jika hijab menjadi larangan di gelanggang olahraga. Panitia berpedoman kepada IJF Rules tentang
Uniform Hygine, memang tertulis jelas mengenai larangan menggunakan penutup
kepala.
Entah mengapa tetap ikut, bisa saja Janah sendiri
maupun tim resminya sudah mengetahui dan membaca aturan ini. Atau, memang tidak ada pengetahuan sama sekali atas aturan ini.
Aturan tetaplah
aturan. Janah harus menikmati proses ini sebagai sebuah pengalaman besar
untuknya. Ia harus menerima didiskualifikasi.
Tapi ke depan,
agaknya aturan ini harus dijadikan perhatian utama. Seharusnya multi event
seperti Asian Para Games bukan saatnya lagi melarang penggunaan hijab bagi
wanita di cabor apapun. Sebab sekelas Asian Games hingga Olimpiade pun hijab
bukan lagi larangan.
Tentu, ini
apresiasi luar biasa untuk wanita muslimah seperti Miftahul Janah. Atlit asal
Aceh ini tetap teguh dengan prinsipnya untuk tidak melepas hijab meski rela ia
tak boleh bertanding. Artinya harapan untuk menang dan meraih medali emas telah
pupus.
Kabarnya, usai
insiden ini. Ia justru meraih begitu banyak simpati dan dukungan. Tak sedikit
yang menawarkan hadiah yang lebih baik dari sekedar medali emas. Mulai dari
bantuan tunai, hingga ajakan untuk umroh ke Baitullah.
Prinsip ini mahal.
Ia bisa saja melepas hijabnya barang sebentar dalam pertandingan saja. Namun ia
tak mau melanggar prinsip yang telah ia yakini dari Sang Pencipta.
Inspiratif, semoga
kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak.
Tidak ada komentar: