Sejak pekan lalu perdebatan di medsos terkait
turunnya jumlah orang miskin, sebanyak 630.000 jiwa, menjadi di bawah 10%
(menjadi 9,8 % atau berjumlah 25,95 juta jiwa) sangat menyita banyak perhatian.
Pemerintah mengklaim bahwa penurunan ini merupakan prestasi terbesar
sepanjang puluhan tahun, dari 1999, dan dari rezim demi rezim, hanya di rezim
Jokowi ini kemiskinan bisa di entaskan di bawah "dua digit". Sebuah
klaim kesuksesan yang tidak mampu dicapai pemerintah sebelumnya.
Pro-kontra langsung saja terjadi. Kelompok pro
pemerintah bangga dan yakin bahwa ukuran kemiskinan dan hasil (angka)
orang miskin yang dirilis BPS tersebut adalah valid dan kredibel. Sedangkan
kelompok oposisi menganggap pasti ada kesalahan dalam data ini. Sebab,
menurutnya, secara kualitatif rakyat merasa ekonomi semakin sulit, harga harga
pada naik, dan lapangan pekerjaan juga semakin sulit.
Pekan lalu, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut masih ada 100 juta
orang miskin di Indonesia. Angka 100 juta ini didasarkan pada 40% orang dengan
kelompok berpendapatan rendah. Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia
sekitar 263 juta, maka ada sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang
berpendapatan rendah.
Tak hanya SBY, ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut kemiskinan di Indonesia
meningkat 50%. Hal ini, kata Prabowo, karena kondisi negara yang kurang baik,
dari nilai rupiah yang terus memburuk hingga harga bahan pokok yang terus
melonjak.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa ada
berita rakyat busung lapar dan mati karena kelaparan di Asmat dan
Bintang, Papua, awal tahun ini, serta di Seram, Maluku, beberapa hari lalu
memghantui kita, namun kemiskinan disebut menurun bahkan diklaim terendah
sepanjang sejarah republik ini?
Yang jadi pertanyaan, manakah data yang valid?
Pertanyaan berikutnya, apa sebenarnya standar seseorang disebut miskin dan apa
pula standar orang disebut mampu?
Pendengar, apa komentar anda?
Tidak ada komentar: