Pengumuman hasil renegosiasi antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport menjadi babak akhir atas polemik status kontrak Freeport di tanah air. Tingginya potensi emas dan tembaga di Papua membuat pemerintah Indonesia sangat hati-hati dalam menyetujui perundingan soal kontrak.
Penandatanganan nota
pendahuluan antara PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) dan Freeport McMoran
berlangsung di Jakarta pada Kamis (12/07).
Di luar divestasi saham 51%,
disetujui juga perpanjangan operasi dua kali sepuluh tahun hingga 2041,
pembangunan smelter, dan apa yang disebut sebagai stabilitas finansial.
Sebelumnya, kepemilikan saham
Indonesia di Freeport hanya sekitar 9,36%, namun dengan kesepakatan ini
pemerintah Indonesia melalui Inalum akan menguasai 51% saham tambang Grasberg,
Papua, tambang emas serta tembaga terbesar kedua di dunia.
Freeport diperkirakan akan
tetap beroperasi di Grasberg dan menjadi pemilik saham yang tersisa.
Lalu dari mana uang untuk
mengakuisisi saham Freeport? Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin
mengatakan, dana untuk pengambilan divestasi saham 51% merupakan pinjaman
sindikasi 11 bank baik nasional maupun asing.
Tambang di Papua juga menjadi
salah satu pemicu gerakan separatisme, selain sejak lama menjadi sumber
perdebatan secara nasional tentang manfaat yang diperoleh rakyat dari usaha
tambang ini. Isu lingkungan juga menjadi sorotan dari penambangan emas dan
tembaga terbesar kedua di dunia ini.
Lalu apakah Indonesia untung
dengan keputusan ini ataukah justru tetap buntung?
Apa komentar anda?
Narasumber :
Dr. Kurtubi
Tidak ada komentar: