Selasa malam, 8 Mei 2018,
kerusuhan pecah di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Ini bukan pertama kalinya
kericuhan terjadi di markas Korps Brigade Mobil itu. Sebelumnya pada tanggal 10
November 2017 lalu kericuhan juga sempat terjadi. Kabar yang berkembang,
penyebabnya lantaran ada petugas yang melempar kitab suci Al-Qur’an ketika
melakukan penggeledahan barang-barang milik narapidana kasus terorisme.
Semula pihak kepolisian
menyatakan insiden kerusuhan pada Selasa malam itu dipicu lantaran narapidana
tidak terima makanan yang diberikan keluarga kepadanya diperiksa oleh petugas.
Namun belakangan pihak kepolisian mengungkap alasan lain, yaitu para napi
menuntut untuk bertemu dengan Aman Abdurrahman, seseorang yang disebut-sebut
sebagai pimpinan ISIS di Indonesia. Pihak kepolisian pun tampak sangat tertutup
terkait kejadian ini. Informasi yang cukup terang baru disampaikan pada Kamis
pagi sekaligus menandai berakhirnya operasi di Mako Brimob.
Laporan menyebutkan ada enam
orang meninggal dunia dari kejadian itu. Lima orang dari pihak kepolisian, dan
satu orang dari narapidana yang melakukan perlawanan. Selain itu ada sejumlah
petugas yang mengalami luka-luka.
Yang mengherankan dari
insiden ini adalah darimana para narapidana bisa mendapatkan senjata, bahkan
konon ada bom rakitan pula yang siap diledakkan. Menurut keterangan aparat,
para narapidana itu mengambil senjata dan bom rakitan di ruang penyidik yang
jaraknya tak begitu jauh dari tempat mereka ditahan. Tentu kita patut heran,
betapa lemahnya penjagaan dan penyimpanan senjata dan barang bukti di tempat
yang seharusnya sangat ketat dalam hal keamanan. Soalnya ini Mako Brimob, bukan
tempat tahanan biasa.
Tak salah rasanya jika Ketua
Presidium IPW (Indonesia Police Watch), Neta S. Pane yang menyebut bahwa
peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi pihak kepolisian, utamanya Kapolri
Jenderal Tito Karnavian yang di saat bersamaan sedang memamerkan kinerja
kepolisian yang dianggap sukses memberantas terorisme di gelaran Middle East Special Operations Commanders
Conference (MESOC) 2018 di Amman, Yordania.
Kita tentu berempati kepada
semua yang terbunuh dari peristiwa ini, utamanya kepada keluarga yang
ditinggalkan. Insiden Mako Brimob adalah cerminan dari lingkaran kebencian yang
ada di negara kita. Sebagian masyarakat Indonesia mengutuk keras peristiwa ini,
terlebih mendengar kabar bahwa jasad mereka yang terbunuh penuh dengan luka
yang mengerikan. Bahkan di dunia maya ada yang dengan semangatnya menyerukan
supaya aparat langsung membunuh saja para narapidana yang melakukan perlawanan.
Persetan dengan HAM, kata mereka.
Seruan dan desakan semacam
ini tentu bukannya akan menyelesaikan masalah namun justru akan menambah runyam
masalah yang ada. Sadarkah kita bahwa tak sedikit orang yang menjadi korban
selama pemberantasan kasus terosime. Ada sederet daftar orang yang tak bersalah
atau setidaknya belum terbukti bersalah terbunuh dalam operasi pemberantasan
terorisme. Dan kondisi mereka yang terbunuh juga sama mengerikannya, bekas
pukulan, sayatan, tembakan dari jarak dekat dan sebagainya. Untuk hal ini,
tentu Komnas Ham dan lembaga advokasi kemanusian punya daftarnya.
Kita patut curiga, kalau
benar apa yang disampaikan pihak kepolisian soal kondisi jenazah aparat yang
meninggal, jangan-jangan itu disebabkan tumpukan amarah dan dendam dari para
pelaku yang tak terima keluarganya atau sahabatnya mendapatkan perlakuan serupa
dari aparat. Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa prihatin dan empati kita kepada
mereka yang terbunuh, kita perlu kembali merenung, inikah lingkaran amarah dan
kebencian yang sedang terjadi di negeri ini. Dan ini tidak akan selesai sampai
terwujudnya keadilan.
Ya, keadilan masih menjadi
persoalan serius di negeri ini. Banyak orang yang tak bersalah
disalah-salahkan. Dan banyak pula orang yang bersalah dibela-bela. Yang jelas,
insiden semacam ini tak boleh terjadi lagi. Pemerintah harus melakukan evaluasi
serius soal lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di negara ini. Hal-hal
yang sekiranya dapat memicu kerusuhan perlu dicegah. Pengawasan perlu lebih
ditingkatkan tentunya tanpa mengabaikan hak-hak asasi para narapidana.
Wallahu a’lam bishshowab
Tidak ada komentar: