Topik
soal wacana Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan system zonasi kini
menghangat kembali.
Kepala
Dinas Pendidikan Surakarta, Etty Retnowati, sebelumnya menyatakan akan
menerapkan sistem zonasi pada PPDB SMP Tahun Ajaran 2018/2019.
Jika
merujuk kepada sistem zonasi yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 17 tahun
2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sistem zonasi adalah sistem
penerimaan siswa baru, dimana sekolah harus memprioritaskan pada anak-anak di
sekitar sekolah. Setelah terisi, baru beberapa persennya diperuntukkan bagi
siswa jauh. Artinya, calon siswa adalah mereka yang terdekat dengan sekolah.
Nilai
tidak menjadi faktor utama dalam penerimaan siswa baru dan hanya dijadikan
pertimbangan saja. Sehingga radius terdekat antara sekolah dengan rumah yang
terdekat yang harus diprioritaskan.
Bahkan,
Menteri Pendidikan Muhajir Efendi mengatakan, system zonasi tidak hanya
diterapkan pada siswa namun juga guru dan tenaga pengajar.
Sistem
zonasi dinilai cukup baik untuk mengatasi persoalan ketimpangan kualitas
pendidikan. Masih ada perspektif masyarakat tentang favoritisme. Dimana
masyarakat sekarang ini berangan-angan anaknya bisa masuk sekolah favorit
dengan segala cara, tak pelak isu jual beli kursi di sekolah favorit sempat
muncul.
Kenyataannya
sekolah favorit itu hanya ada di kota-kota besar dan di pusat-pusat kota.
Sedangkan yang di pinggiran tidak terfasilitasi dengan baik.
Ketimpangan
semacam ini, tidak lain diakibatkan karena sekolah-sekolah yang dianggap
favorit tersebut leluasa memilih calon siswa degan nilai yang paling tinggi.
Mereka sangat mungkin mengatrol nilai akreditasi sekolah karena akreditasi
memang — salah satunya — mengacu kepada komponen prestasi siswa. Yang favorit
akan kian favorit.
Semua
siswa layaknya bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kualitas
pendidik dan pendidikan yang baik. Sekolah yang baik harus bisa juga mendidik
anak yang kurang pintar.
Ada
juga yang menganggap, system ini melawan hak asasi siswa untuk mendapatkan
sekolah sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga system ini dianggapnya tak
cocok untuk dijalankan.
Namun,
system pemerataan pendidikan yang dianggap sudah baik ini harus didukung dengan
kualitas pendidik yang juga baik. Jangan sampai sekolah pada akhirnya tidak
siap untuk menjalankan komitmen ini disebabkan kualitas guru yang tidak baik.
Karena ada di zaman now ini, oknum guru yang hanya menunggu gaji dan fasilitas,
namun tak ada kesungguhan dan kepatutan untuk menjadi role model yang baik bagi
siswa didiknya.
Sistem
ini kembali menjadi PR bagi kementerian pendidikan, dinas pendidikan,
masyarakat serta sosok guru itu sendiri, yang akan menentukan baik atau buruknya
kualitas pendidikan.
Wallahu
a’lam bsih showwab
Tidak ada komentar: