![]() |
Jasriadi, tertuduh Saracen, berdialog dengan penasihat hukum usai mendengarkan pembacaan vonis di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Jumat (6/4/2018). ANTARA FOTO/Rony Muharrman |
Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Pekanbaru menyatakan, opini yang telah terbentuk di masyarakat yang
menyebut kelompok Saracen sebagai penyebar ujaran kebencian dan isu suku,
agama, ras dan antara golongan (SARA) tidak terbukti.
Hal itu disampaikan hakim
Riska, satu dari tiga hakim majelis saat membacakan amar putusan vonis terhadap
Jasriadi yang disebut sebagai bos Saracen, di Pekanbaru, Riau, Jumat.
Riska mengatakan, sejak kasus
Saracen bergulir, banyak media menyebut Saracen merupakan kelompok penyebar
kebencian dan SARA. Akibatnya, opini tersebut melekat di masyarakat hingga
berakibat pada disintegrasi bangsa.
Isu ini tak main-main, saat
ditemui di silang Monas, Jakarta, Ahad
(27/8/2017) Presiden Joko Widodo menilai, kelompok Saracen yang menyebarkan
hoaks di dunia maya sangat mengerikan dan harus segera diungkap sampai ke
akar-akarnya oleh pihak kepolisian. Entah, siapakah yang membisikkan hal ini ke
telinga Presiden, hingga muncul kesimpulan yang payah seperti ini.
Padahal, berdasarkan fakta-fakta
persidangan, menyimpulkan tuduhan yang sejak awal kasus itu bergulir tidak
terbukti. Jasriadi yang menjadi pengelola website Saracen tidak terbukti
mengunggah ujaran kebencian termasuk menerima aliran dana ratusan juta rupiah
seperti dituduhkan kepada pria 33 tahun itu. Begitu juga terkait tuduhan
Jasriadi membuat 800.000 akun facebook anonim untuk menyebarkan SARA dan ujaran
kebencian.
Jasriadi bukan satu-satunya
orang yang namanya kadung dicemarkan oleh tuduhan yang gagal dibuktikan di
persidangan. Sebelumnya ada nama Asma Dewi, perempuan yang disebut-sebut
sebagai bendahara Saracen ini disebut polisi telah melakukan ujaran kebencian.
Polisi juga menyebut Asma
pernah mentransfer uang Rp75 juta untuk Saracen. Namun, seperti halnya
Jasriadi, tuduhan polisi tidak bisa dibuktikan di pengadilan. Bahkan uang Rp75
juta yang diucapkan polisi berulang-ulang ke awak media juga tidak masuk dalam
lembar dakwaan jaksa.
Meski begitu Asma Dewi tetap
dijatuhi hukuman 5 bulan 15 hari penjara oleh pengadilan. Bukan lantaran
mengujarkan kebecian , seperti dikatakan aparat kepolisian tapi lantaran ia
dianggap melakukan penghinaan kepada penguasa sebagaimana diatur dalam Pasal
207 KUHP.
Kasus Saracen mencuat pada
Agustus 2017 silam. Saat itu, Jasriadi ditangkap polisi di rumahnya, di Jalan
Kasa, Kota Pekanbaru. Dia ditangkap setelah sebelumnya polisi menangkap dua
orang lainnya, Sri Rahayu Ningsih dan Muhammad Tonong. Jasriadi juga disebut
sebagai ketua sindikat itu, yang juga dituduh menerima aliran dana hingga
ratusan juta rupiah dari pihak tertentu.
Namun dalam putusannya,
majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan Jasriadi hanya terbukti
melakukan akses ilegal media sosial Facebook dengan hukuman 10 bulan penjara.
Meski kemudian hanya divonis rendah, Jasriadi dan kuasa hukumnya, Dedi Gunawan,
tetap menyatakan banding.
Masyarakat sudah kadung
membayangkan bahwa Saracen ini adalah kumpulan hacker yang punya kemampuan
tingkat tinggi sebagaimana digambarkan oleh Presidennya sendiri dan media-media
lainnya. E ladalah, ternyata kasus ini zonk alias nihil belaka.
Nasi telah menjadi bubur,
nama terlanjur ajur. Akankah pihak-pihak yang telah membuat heboh isu ini akan pernyataannya?
Atau inikah sesungguhnya yang dimaksud dengan hoax yang membangun?
Wallahu a’lam bish showwab
Tidak ada komentar: