![]() |
Ilustrasi |
1 Februari 2018 adalah hari terakhir bagi guru bernama Ahmad Budi
Cahyono. Guru honorer ini mengajar pelajaran menggambar di kelas XI, SMA I NegeriSampang.Tragis.
Ia meninggal dunia karena dianiaya oleh muridnya sendiri.
Mungkin ia layak jika disebut “gugur”. Gugur di medan tugas. Tugas mulia
dengan honor 600 ribu rupiah saja tiap bulan.
Adalah HI, siswa ini mengganggu teman-temannya, lantas tidur seenaknya
di kelas. Guru Budi menegur sisiswanya itu dengan mencoret pipinya menggunakan cat
air. Alih-alih sadar, HI justru memukul
kepala gurunya sendiri. Kebiadaban itu dilanjutkan saat pulang sekolah. Murid durjana
itu menunggu Guru Budi dan kembali menganiayanya.
Setiba di rumah, Guru Budi tak sadarkan diri. Keluarga membawanya ke RS
Dr Sutomo, Surabaya. Malamnya, akhirnya Guru Budi berpulang. Diagnosis dokter menyebutkan
bahwa Guru Budi patah tulang leher yang terdapat syaraf pembuluh darah dan saluran
pernafasan yang langsung terhubung ke otak.Tragedi telah terjadi.Kebiadaban apa
yang lebih mengoyak nurani dari peristiwa ini?
Kejadian ini adalah cermin bahwa dunia pendidikan nasional hanya rajin menanamkan
aspek kognitif namun lupa atau abai menanamkan aspek penting lainnya dalam pendidikan,
afektif dan psikomotorik. Sejak pendidikan sekolah dasar, aspek kognitif sudah dikenalkan
kepada para anak didik lewat pelajaran-pelajaran yang ada.
Guru Budi adalah guru muda yang sederhana. Gaji pas-pasan, bahkan dibawah
UMR. Baktinya tak sejalan dengan imbalan. Tragisnya peristiwa ini hanya melintas
sekilas, seperti peristiwa biasa. Dunia pers tidak gegap gempita menyorot peristiwa
ini.
Benarkah kita sekarang hidup dalam generasi yang tak peduli dengan budi pekerti?
Peristiwa yang menimpa Guru Budi adalah bukti bahwa pekerjaan rumah di bidang pendidikan
masih menumpuk. Kini sudah saatnya pekerjaan rumah itu dikerjakan dan diselesaikan.
Pelajaran agama di sekolah harus diefektifkan
lagi untuk mencegah kenakalan anak didik.Karena dengan pelajaran agama bisa menjadikan
baiknya akhlak, sopan santun dan rasa hormat terhadap sesama,
terlebih kepada guru dan orangtua.
Kekerasan yang masih terjadi di dunia pendidikan merupakan indikasi nyata,
program pendidikan karakter belum berhasil. Anggaran negara yang dihabiskan untuk
program itu dinilai telah gagal menanamkan karakter pada pesertadidik.
Metode pembelajaran di madrasah dan pondok pesantren bisa dijadikan contoh,
bagaimana mengkombinasikan ilmu agama dan ilmu umum. Hasilnya, anak didik tidak
hanya cerdas ilmu umum, tapi juga cerdas emosinya, baik pekertinya, luhur akhlak
budinya.
Wallahua’lam bish showwab
Tidak ada komentar: