Sejauh mata
memandang dari pesawat, seolah melihat lukisan di atas kanvas berupa daratan
yang dipenuhi hijau pepohonan yang dibelah sungai yang berkelok-kelok.
Keindahan lain terlihat, ketika Antara menginjak kaki di Ibu Kota Kabupaten
Asmat, Agats, langsung disuguhi pemandangan yang tidak pernah ada di kota
lainnya di wilayah Indonesia.
Rumah, pasar,
kantor, jalan yang semuanya dibangun di atas panggung. Di sana tidak ditemukan
jalan beraspal seperti kota-kota lainnya, tapi berupa jalan papan kayu dan ada
yang sudah berbeton yang di atas panggung dan lebarnya tidak lebih dari tiga
meter.
Tidak ada mobil dan
angkutan lainnya, hanya-hanya motor-motor listrik yang menjadi alat
transportasi warga serta perahu yang menghubungkan antarwilayah. Namun dibalik
keindahan itu semua, ada kejadian luar biasa yang mengoyak itu semua, dimana
ratusan warga terserang penyakit campak dan gizi buruk.
Sebuah Ironi di Tanah Yang Kaya nan Indah
Kapolda
Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar memperkirakan jumlah warga di Kabupaten Asmat,
Papua yang menderita gizi buruk mencapai 15 ribu orang.
Bupati
Asmat Elisa Kambu mengakui, bahwa sejak September 2017 Dinas Kesehatan
Kabupaten Asmat mencatat adanya serangan penyakit campak. Namun baru akhir
Desember, yakni 23 Desember, mendapat laporan dari Uskup Keuskupan Agats Mgr
Aloysius Murwito adanya balita meninggal di Kampung As, Distrik Pulau Tiga
meninggal akibat penyakit tersebut.
Sebuah ironi yang sangat
menyedihkan. Kejadian Luar Biasa (KLB) ini terjadi, dan menjadi pemberitaan
media internasional dan disebutkan korbannya mendekati 100 orang.
Hal ini bukanlah
bencana dadakan, namun sebuah akumulasi kesalahan
dalam pengelolaan negara.
Rakyat di Papua punya tradisi dalam
mengelola makanannya. Selama ini masyarakat di sana juga tak pernah ada masalah
dengan kekurangan gizi. Dugaan sementara ada pada kesalahan mekanisme yang
dijalankan pemerintah. Misalnya pembangunan di Papua tidak didasarkan pada
kearifan lokal. Serta, ada pemaksaan terhadap pola hidup tradisional warga Papua.
Masyarakat Papua yang biasa makan sagu
dan ubi, tiba-tiba dipaksakan makan beras padahal mereka tidak punya sawah, hingga
akhirnya ketergantungan. Akibatnya ketika suplai berkurang masyarakat terkena
busung lapar. Pemerintah harusnya memiliki
kebijakan pembangunan yang komprehensif.
Wabah campak maupun gizi buruk semestinya tidak
terjadi di Papua. Apalagi dana otonomi khusus untuk Papua juga cukup besar
telah digelontorkan dari anggaran negara.
Wallahu a’lam bish showwab
Tidak ada komentar: