
Tim adovakasi Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama
mengkritik usulan pemberian remisi natal kepada terpidana kasus penodaan agama,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Terutama, soal penempatan Ahok di rumah tahanan
(Rutan) Brimob, bukan di lembaga lemasyarakatan (Lapas).
Kalau status terpidana itu harus ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan (lapas). Karena itu dia harus bermasyarakat terlebih dahulu,
karena namanya juga dimasyarakatkan. Jadi bisa dinilai dia berbuat baik atau
tidak selama di pemasyarakatan itu sebagai salah satu syarat remisi. Nah,
bagaimana kalau dia diisolasi di rutan Brimob. Rutan itu kan untuk penempatan
sementara bagi yang statusnya belum terpidana. Dari mana melihat perbuatan
baiknya jika dia tidak di pemasyarakatan.
Jika alasan khawatir masalah keamanan jika di tempatkan di
salah satu lapas yang ada di Jakarta, Ahok kan sejak dia dieksekusi
pascaputusan tetap hakim bisa ditempatkan di lapas yang aman. Misalnya, di
Bali, Manado, atau Papua. Tapi ini tidak. Artinya dia secara aturan belum
menjalani putusan hakim selaku terpidana untuk ditempatkan di lembaga
pemasyarakatan.
Untuk mendapatkan remisi seorang
narapidana harus memenuhi syarat-syarat khusus, salah satunya berkelakuan baik
dan telah menjalani masa pidana selama enam bulan. Persyaratan berkelakuan baik
harus dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun
waktu enam bulan terakhir, atau terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi.
Karena Ahok tidak menaati putusan
hukum yang mengamanatkan agar dirinya berada di lapas, maka tidak semestinya
dia mendapatkan remisi. Apalagi hukuman yang ditrerima Ahok juga hanya dua
tahun. Dalam hitungan kasar, di luar remisi, Ahok akan sudah menjalani dua
pertiga masa hukuman pada September 2018 nanti. Namun dengan remisi Natal 15
hari, plus remisi umum hari kemerdekaan, maka Ahok bisa bebas setidaknya pada
17 Agustus nanti.
Maka, hanya ada satu kata, tolak
remisi untuk Ahok!
Tidak ada komentar: