
Kasus KTP
Elektronik semakin menegaskan citra negatif dan menebalkan stigma koruptif di
wajah para wakil rakyat. Mereka dengan penuh kesadaran, menyalahgunakan
kewenangan konstitusionalnya untuk menangguk keuntungan pribadi maupun untuk
kepentingan parpolnya. Dengan kewenangannya, sejumlah oknum anggota DPR menjadi
bagian dari mafia anggaran. Modus yang dilakukan lazimnya mengawal sebuah
proyek yang didanai APBN atau APBD yang memerlukan persetujuan parlemen dan
pemerintah. Ujung-ujungnya, oknum itu meminta jatah dari anggaran proyek,
sebagai imbalan atas jasanya mengegolkan proyek tersebut.
Berkaca dari
fakta tersebut, ada hal penting yang perlu menjadi catatan. Yaitu
bahwa DPR masih belum berubah, seolah tidak belajar dari pengalaman.
Berbicara DPR tentu juga terkait dengan peran partai politik (parpol). Dengan
kata lain, parpol gagal membina kadernya untuk menjauhkan diri dari mental
koruptif.
Sejumlah kasus
korupsi yang melibatkan elite parpol menandakan maraknya demokrasi
transaksional. Kepercayaan yang diberikan rakyat, oleh parpol tidak digunakan untuk
memperjuangkan substansi dari demokrasi, tetapi dimanipulasi untuk tujuan
pragmatisnya, dengan imbalan uang dan jabatan. Tentu saja hal itu hanya
dinikmati segelintir elite parpol.
Kondisi itu
tak lepas dari pola perekrutan politik yang diterapkan parpol selama ini, yang
ditengarai masih memberi bobot besar pada popularitas, elektabilitas, dan
akseptabilitas. Ketiga variabel tersebut berpotensi menyesatkan, dan diyakini
tak akan mampu melahirkan sosok negarawan, karena dengan mudah dibentuk dengan
kekuatan finansial.
Model
perekrutan semacam ini terbukti menyuburkan mental dan perilaku koruptif.
Mereka yang lolos menjadi wakil rakyat atau dipercaya menjadi penyelenggara
negara, memanfaatkan jabatannya untuk mengembalikan investasi politik yang
telah ditanamkan untuk meraih jabatan-jabatan itu.
Popularitas,
elektabilitas, dan akseptabilitas seorang politisi yang menjadi penyelenggara
negara, termasuk wakil rakyat, seharusnya dibangun melalui proses panjang yang
penuh dengan karya dan dedikasi nyata bagi rakyat banyak. Sayangnya, semua
kriteria itu belum sepenuhnya menjadi semangat dan modal pengabdian para wakil
rakyat. Mereka lebih memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya.
Adanya
perbaikan sikap yang nyata dari DPR dan partai politik terkait isu pemberantasan
korupsi adalah sebuah keniscayaan. Hal itu harus dilakukan dalam waktu dekat. Dalam
Pilkada 2018, misalnya, partai jangan lagi menyodorkan nama-nama yang pernah
terkait dengan kasus korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Sebaiknya, partai menyodorkan nama-nama yang terbukti
memilki rekam jejak yang bersih. Bila partai
tetap ngotot mengusung nama-nama dengan rekam jejak yang kotor, maka publik
bisa kembali mempertanyakan keberpihakan partai kepada upaya pemberantasan
korupsi. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar: