Slider

Gambar tema oleh kelvinjay. Diberdayakan oleh Blogger.

RDS TV

News RDS

Agenda RDS

Zona Muslimah

Laporan S3 RDS

Kolom Kru RDS

Kru RDS

» » » » DPR dan Stigma Sarang Koruptor



Sepanjang tahun 2017, ada 25 orang terkait dengan parpol tersangkut kasus korupsi. Rinciannya, 10 kepala daerah, 9 Anggota DPRD dan 6 orang anggota DPR. Puncak persoalan itu terjadi saat Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk kasus korupsi KTP elektronik.
 
Kasus KTP Elektronik semakin menegaskan citra negatif dan menebalkan stigma koruptif di wajah para wakil rakyat. Mereka dengan penuh kesadaran, menyalahgunakan kewenangan konstitusionalnya untuk menangguk keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan parpolnya. Dengan kewenangannya, sejumlah oknum anggota DPR menjadi bagian dari mafia anggaran. Modus yang dilakukan lazimnya mengawal sebuah proyek yang didanai APBN atau APBD yang memerlukan persetujuan parlemen dan pemerintah. Ujung-ujungnya, oknum itu meminta jatah dari anggaran proyek, sebagai imbalan atas jasanya mengegolkan proyek tersebut.

Berkaca dari fakta tersebut, ada hal penting yang perlu menjadi catatan. Yaitu bahwa DPR masih belum berubah, seolah tidak belajar dari pengalaman. Berbicara DPR tentu juga terkait dengan peran partai politik (parpol). Dengan kata lain, parpol gagal membina kadernya untuk menjauhkan diri dari mental koruptif.
 
Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan elite parpol menandakan maraknya demokrasi transaksional. Kepercayaan yang diberikan rakyat, oleh parpol tidak digunakan untuk memperjuangkan substansi dari demokrasi, tetapi dimanipulasi untuk tujuan pragmatisnya, dengan imbalan uang dan jabatan. Tentu saja hal itu hanya dinikmati segelintir elite parpol.

Kondisi itu tak lepas dari pola perekrutan politik yang diterapkan parpol selama ini, yang ditengarai masih memberi bobot besar pada popularitas, elektabilitas, dan akseptabilitas. Ketiga variabel tersebut berpotensi menyesatkan, dan diyakini tak akan mampu melahirkan sosok negarawan, karena dengan mudah dibentuk dengan kekuatan finansial.

Model perekrutan semacam ini terbukti menyuburkan mental dan perilaku koruptif. Mereka yang lolos menjadi wakil rakyat atau dipercaya menjadi penyelenggara negara, memanfaatkan jabatannya untuk mengembalikan investasi politik yang telah ditanamkan untuk meraih jabatan-jabatan itu.

Popularitas, elektabilitas, dan akseptabilitas seorang politisi yang menjadi penyelenggara negara, termasuk wakil rakyat, seharusnya dibangun melalui proses panjang yang penuh dengan karya dan dedikasi nyata bagi rakyat banyak. Sayangnya, semua kriteria itu belum sepenuhnya menjadi semangat dan modal pengabdian para wakil rakyat. Mereka lebih memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya.

Adanya perbaikan sikap yang nyata dari DPR dan partai politik terkait isu pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan. Hal itu harus dilakukan dalam waktu dekat. Dalam Pilkada 2018, misalnya, partai jangan lagi menyodorkan nama-nama yang pernah terkait dengan kasus korupsi untuk maju sebagai calon kepala daerah. Sebaiknya, partai menyodorkan nama-nama yang terbukti memilki rekam jejak yang bersih. Bila partai tetap ngotot mengusung nama-nama dengan rekam jejak yang kotor, maka publik bisa kembali mempertanyakan keberpihakan partai kepada upaya pemberantasan korupsi. Wallahu a’lam

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply